Tuesday, December 11, 2012

Persahabatan Itu Abadi

Tak ada yang sempurna di dunia ini, termasuk aku, kau, dia dan kalian. Air terus mengalir, waktu terus berdentang, siang berganti malam, malam berganti pagi, kau tidak akan menemukan sebuah kesempurnaan di dunia ini, ikhlas bukanlah kata yang tepat, tapi takdir selalu mempunyai caranya sendiri.

Saat ini aku berada di tengah hutan, hutan yang masih terjaga kelestariannya oleh warga setempat, aku bersama kelima temanku sedang dalam perjalanan membuka jalur untuk persiapan pelatihan membaca peta bagi adik-adik kelasku. Aku mengenal kelima temanku itu sejak kami berada di sekolah dasar, hingga saat ini kami duduk di bangku sekolah menengah atas, walaupun kami sempat berpisah ketika memasuki sekolah menengah pertama. Kami berenam memang suka dengan alam, sehingga awal semester sekolah kami bersama-sama mengikuti kegiatan ekstrakulikuler sekolah pecinta alam. Mereka adalah, Andi, Wina, Shelvi, Rizki dan Zaki.

Semenjak masuk kedalam kegiatan ekstrakulikuler sekolah ini kami semakin dekat dan selalu bersama, baik itu di sekolah maupun di luar sekolah, walaupun terlihat sangat dekat, masing-masing dari kami memiliki rahasia masing-masing yang tidak pernah di ketahui, hingga saat kami duduk di bangku kelas tiga dan dalam perjalanan membuka jalur ini.

Dalam perjalanan kami mendapatkan masalah, kami tersesat dan hal tersebut belum pernah terjadi sebelumnya. Area hutan yang kami jelajahi ini masih termasuk hutan yang sangat familiar, karena masih dalam kawasan dekat sekolah, ya, sekolah kami di kelilingi oleh hutan, tapi sekolah kami termasuk sekolah swasta yang di perhitungkan di kotaku, bahkan di mata internasional, tapi aku tidak akan menceritakan tentang itu.

Setelah kami berkeliling untuk mencari petunjuk, ternyata kami hanya berputar di sekitar saja, padahal kami mengikuti arah matahari, karena jalan keluar kami bila tersesat adalah mengikuti arah matahari terbenam. Zaki dengan sedikit kelelahan setelah 1 jam berputar-putar menyarankan untuk beristirahat sebentar dan berfikir bersama, "Bilang saja badan kau sudah tak kuat jalan, makanya jangan banyak makan malam, begitulah badanmu sekarang, gemuk tidak, proposional tidak, buncit iya" Ejek Rizki dengan tawanya yang khas, seperti orang terbatuk.

"Macam kau tidak je, liat la siape yang buncit, punya engkau lebih besa (seperti kau tidak saja, lihat lah siapa yang buncit, perut kau lebih besar)" Balas Zaki dengan muka musam, "Bile kite nak tanding lari, aku la pasti yang menang (Kalau kita tanding lari, pasti aku yang menang)"

"Sudah, hari semakin sore, kalau kami mendengarkan kalian bertengkar, siapa yang menang? Penjajah!" Lerai Wina dengan suara cemprengnya yang tidak lucu sama sekali, tapi setidaknya bisa membuat Zaki dan Rizki diam. Wina berjalan dengan gemulai dan mengibaskan rambut panjangnya yang terikat kebelakang bak model dengan sepatu boots coklat muda ke arah Shelvi yang sedang bersender di pohon besar, tubuhnya memang mungil, tetapi tenaganya melebihi kami semua. Kami mengatur untuk menginap di hutan malam ini, karena tidak akan mungkin kami menelusuri hutan ini di malam hari, kami hanya perlu berjalan sedikit untuk menemukan hulu air, agar kami dapat melanjutkan perjalanan pulang esok pagi dengan mengikuti aliran air. Zaki dan Andi mengeluarkan parangnya untuk memotong beberapa ranting dan pohon mati, yang nantinya akan kami jadikan api unggun. Aku dan Rizki membangun tenda, sedangkan Wina dan Shelvi mempersiapkan air dan makan malam, yang pastinya hanya mie.

Setelah semuanya selesai, kami menikmati makan bersama. Sudah lama kami tidak menikmati malam seperti ini, terakhir kali yaitu waktu kelas dua, kami mengikuti percobaan untuk menjadi pengurus inti organisasi ekstrakulikuler sekolah. Karena kami tidak ada minat untuk menjadi pengurus inti, akhirnya kami menginap di hutan agar kami datang paling terakhir dan gagal ujian, tapi sayang, ternyata kami tidak datang terakhir dan akhirnya kami masuk kedalam tim ekspedisi.

"Aku menyukai kamu Shel" Ucapku saat kami menikmati makan malam, semuanya tertawa dan Shelvi mengatakan, bahwa aku tidak perlu mengucapkan hal tersebut, semuanya juga tahu, bahkan sejak kami duduk di sekolah dasar. Aku tersipu malu dan ketika mereka melihat ekspresi mukaku yang tersipu malu membuat empat temanku yang lainnya tertawa terbahak-bahak.

"Ya, aku tahu itu, aku bukan tipe orang yang bisa menyembunyikan rasa" Balasku dengan berusaha menyembunyikan rasa malu yang tidak akan terlihat dari kulitku yang coklat kematengan. Tetapi ia tetap menolakku dengan mengatakan kalau ia hanya menganggapku sebagai teman. Malam ini di lewati seperti biasa setelah Wina si suara cempreng mengalihkan pembicaraan. Dan keesokan paginya kami kembali ke basecamp dengan menuntaskan rute perjalanan.

***

8 tahun sudah berlalu, kini aku menjadi seorang manager di salah satu perusahaan swasta di ibu kota dan aku sudah mempunyai seorang tunangan dan sebentar lagi kami akan menikah. Hari ini aku akan mengadakan meeting dengan salah satu perusahaan yang akan menjadi rekan bisnis perusahaanku. Ketika aku sampai di kantor ternyata mereka sudah menungguku, sekretarisku mengatakan bahwa yang datang adalah perwakilannya dan ia seorang wanita. "Emangnya kenapa kalau wanita? Itu kan sudah biasa Ci." Tanyaku kepada sekretarisku dengan sedikit bingung. Tapi sekretarisku hanya tersenyum geli sambil memainkan rambut hitamnya yang pendek, "ada yang mirip dengan seseorang di foto teman-teman bapak yang bapak pajang di ruang kerja bapak."

Aku langsung memasuki ruangan meeting dan ternyata ia adalah Wina, tubuhnya kini tinggi dan sangat manis dengan kulit kuning langsatnya. Ternyata ia tidak kaget dengan kehadiranku, ia sudah mengetahuinya ketika bossnya yang notabene adalah ayah kandungnya sendiri membicarakan bahwa rekan kerja perusahaannya adalah aku dan ia pun langsung meminta agar ia yang menangani kerja sama tersebut.

Selesai meeting aku dan Wina makan siang bersama di bilangan Jakarta Pusat, cukup jauh dari kantor di daerah Jakarta Barat, kami menceritakan kisah masing-masing dan ia hampir menumpahkan secangkir teh di depannya ketika ia tahu bahwa aku telah memiliki tunangan dan akan menikah beberapa bulan lagi. Setelah makan siang, aku akan mengantarkan Wina kembali ke kantornya yang tidak jauh dari tempat kami makan siang, ketika aku akan masuk kedalam mobil BMW sedan hitamku, aku melihat seseorang yang sangat aku kenal di seberang jalan, tubuh mungil dan rambut panjang di gerai, sedang menata bunga yang sangat indah, aku berlari menghampiri dirinya.

"Shelviii~~" Teriakku saat ingin menyebrang, 'Braakkk' mobil jazz hijau menabrakku dari sebelah kiri dan aku pun terpental, semuanya terlihat sangat lamban, aku melihat wajah Shelvi begitu cantik, tapi dari raut wajahnya begitu kaget dan ketakutan, hingga semuanya menjadi hitam dan hening.

Aku terbangun, yang ku lihat hanya sesuatu yang hampa, hitam, dingin, dan kosong. Aku mencoba bergerak, tapi aku tak merasakan apa pun, panik menjadi jalan terakhirku, yang keluar dari dalam diriku hanya satu nama 'Shelvi'. Aku hanya bisa berteriak namanya, aku minta tolong padanya.

Aku tidak bisa menghitung sudah berapa lama aku di dalam kesunyian dan kegelapan ini, hingga aku mendengar seseorang meneriakkan namaku, suara yang aku kenal, suara yang selalu akan aku kenal, Shelvi, suara dirinya. Aku mengejar suara tersebut, mencoba mencari asal suara tersebut. Aku menemukan seberkas cahaya, suara dirinya berasal dari cahaya tersebut.

"Tante! Jarinya bergerak" Teriak seorang wanita. Aku mendengarkan suara ribut, suara orang-orang menangis, orang-orang mengucapkan puji syukur dengan suara lantang dan terlihat terharu. Cahaya mulai terasa menyakiti mataku, hingga aku melihat langit-langit yang bewarna putih polos.

Semuanya kini begitu jelas, aku terbaring di atas kasur, di sebelah kananku ada Wina, di belakangnya berkumpul 3 orang teman lamaku, Zaki, Rizki dan Andi. Sebelah kiriku ada ibuku, Shelvi dan seorang lelaki, wajah mereka semuanya sembab, kecuali lelaki tersebut dan aku tahu ia seorang dokter.

"Sekarang semuanya sudah baik-baik saja, sebaiknya kita keluar dahulu, biarkan ia beristirahat" Ucap dokter tersebut dan semuanya meninggalkan ruangan, kecuali Wina dan ibuku. Aku masih belum mengucapkan sepatah kata. Tapi aku melihat dengan sangat jelas, dokter tersebut menggandeng Shelvi dan itu menjadi pertanyaan di dalam pikiranku.

"Bagaimana nak?" Tanya ibuku, aku hanya memberikan segumpal senyuman menandakan bahwa aku sudah baik-baik saja. Aku mencoba mengeluarkan suara, "Sss-aa-rr-rr-i.." Ibuku menyuruhku untuk tidak berbicara dulu dan mengatakan bahwa Sari membatalkan pernikahan kami berdua secara sepihak, karena aku terus saja memanggil nama 'Shelvi' ketika aku tidak menyadarkan diri dan ibuku memberitahukan juga bahwa Shelvi sudah menikah dengan seorang dokter  yang menangani diriku.

Aku menatap ke langit-langit dan air mataku mengalir, tak pernah terbayang olehku akan terjadi seperti ini. Tak satu pun dari kejadian ini yang aku harapkan, kehilangan wanita yang akan aku nikahi dalam hitungan bulan, kehilangan wanita dari masala laluku karena telah menikah dengan pria lain, kenapa aku tidak mati saja, bagaimana caranya aku menjalani semua ini, aku berusaha berdiri, tapi aku tidak dapat merasakan kedua kakiku. Aku membuka selimutku dan melihat kedua kakiku sudah tidak ada.

Ibuku berusaha tegar sambil mengelus rambutku yang ikal, "Sabar nak, sabar" Ucapnya lirih. Tangan kanan ku di genggam erat oleh Wina. Aku hanya bisa terbaring dan tak dapat berfikir apa-apa, hingga aku terlelap dalam kesedihan.

***

Dua tahun setelah kejadian itu, aku menyadari, bahwa aku terlalu buta dengan cinta, aku tidak dapat melihat luasnya dunia ini dengan kasih sayang yang tulus. Sari, mantan tunanganku ternyata telah menjalin hubungan gelap dengan seorang pria dan ia meninggalkanku bukan karena aku masih mencintai Shelvi, tapi karena ia mencintai pria lain dan kala itu ia menerimaku karena permintaan ayahnya yang gila akan harta, aku baru mengetahui hal tersebut saat Sari mengirimkan e-mail kepadaku dan menceritakan semuanya. Shelvi hanya menganggapku sebagai seorang teman, karena ia juga mencintai seorang pria sejak ia kecil, yaitu dokter tersebut, aku baru mengetahui tersebut setelah ibuku menceritakannya. Dan Wina, ia menikah dengan pengusaha sukses. Begitu juga Andi, Zaki, dan Rizki, mereka menikah dengan wanita pilihan mereka sendiri.

Aku? Aku menikah dengan perawat yang menjagaku setelah kecelakaan tersebut, aku mulai membuka hatiku tulus untuk mencintai wanita itu, sangat perhatian dan keibuan, ia sering bercerita tentang kehidupannya dan aku pun sebaliknya, ia dapat membimbingku, memberikan aku semangat untuk tetap hidup, memberikan kasih sayang yang tulus dan tangannya yang bagus dan putih itu selalu setia membelai rambutku, seperti ibuku, ia bahkan sering mengunjungiku sewaktu ia tidak bertugas. Ia menerima keadaanku tanpa dua kaki, dan ibuku juga suka dengannya. Aku tetap menjadi manager di perusahaan yang aku bangun kembali setelah keterpurukannya dan kami berlima kembali dekat, dengan kasih sayang sebagai sahabat tentunya, kami sering rekreasi bersama pasangan kami bersama-sama.

No comments: